Sunday, January 14, 2007

Siaran Televisi Berbahasa Daerah: Kemana Melangkah?

Sudah tiga atau lima tahun ini salah satu stasiun televisi lokal di Jawa Timur yakni JTV telah menayangkan satu segmen berita yang bisa dibilang sebagai berita berbahasa daerah pertama di Indonesia, yakni Pojok Kampung yang diset sebagai berita berbahasa Suroboyoan, maksudnya bahasa atau dialek keseharian yang dipakai oleh penduduk asal atau asli Surabaya. Pada mulanya acara itu ditayangkan, reaksi warga masyarakat termasuk saya sangat beragam.

Saya sendiri pada mulanya tertawa habis-habisan manakala acara itu menampilkan seorang gadis cantik, dengan dandanan yang khas metropolis namun saat buka mulut justru dialek Suroboyo yang keluar, bukannya dialek Jakarta yang seringkali suka dilontarkan oleh anak muda, padahal kalau saya mengerti kaum remaja putri Surabaya sudah banyak terkena virus logat Jakarta (yang bukan Betawi) dan gengsi jika berbahasa daerahnya sendiri. Dibuka dengan kalimat berikut

Sugeng dalu dherek, yok opo kabare , iki aku……

(Selamat malam saudara, bagaimana kabarnya, ini saya…)

Terlebih pada saat itu, bahasa yang dilontarkan sangatlah kasar dan terkesan menusuk-nusuk gendang telinga, risih pada mulanya mendengar bahasa tutur yang terdengar preman habis itu. Misalnya dengan contoh kalimat berikut

Mari dikenthu, terus wonge dilapurno polisi

(setelah disetubuhi, lalu dilaporkan ke polisi)

Omahe enthek dibadhog geni

(rumahnya habis dimakan api)

Itu masih sebagian kecil dari keseluruhan kata yang dituturkan oleh sang penyiar cantik tadi. Kata-kata seperti mathek (mati), lonthe (pelacur), hoho hihe (******, tebak sendiri) sebagai pengganti kenthu yang dianggap kasar sekali, bronpit (sepeda motor), direnten (kebun binatang), standplat (terminal bis), monthor muluk (pesawat terbang), Sepur tumbuk (bulldozer), njekethek (ternyata), montor kloneng (mobil pemadam kebakaran) dan seterusnya. Kadangkala sang penyiar mengakhiri sebagian beritanya dengan mengomentari kasus tersebut dengan kata yok opo rek?, hmmm..iki.., kuapok koen!, ayo pak pulisi, ditangkep, dan seterusnya. Masih juga ditambah dengan kata empal brewok/ empal gundul (kemaluan perempuan) dan pestul gumbyuk (kemaluan laki-laki) yang bikin pemirsa terasa aneh, apalagi dalam kalimat berikut ini

Si A empal brewoke mari disuduk ambek pestul gumbyuke si B

(kemaluan si A disodok oleh kemaluan si B)

Tak ayal, acara Pojok Kampung ini sempat mengundang keluhan dan protes, baik dari orang Surabaya asli yang merasa tidak seperti itu dialeknya, maupun warga Surabaya dan sekitarnya yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat yang menganggap bahasa tutur dalam Pojok Kampung itu sangat kasar dan dianggap sebagai bahasa jalanan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Jawa baku. Namun demikian the show must go on. Pihak penyelenggara Pojok Kampung tetap bersikukuh dengan bahasa yang digunakan sebagai media pemberitaan dengan beberapa kompromi, termasuk ‘penghalusan’ beberapa kosakata yang dianggap sangat vulgar dan kasar, karena dialek Surabaya sendiri sebenarnya tidak sekasar yang dibayangkan sebelumnya.

Justru kemudian dari Pojok Kampung itu berkembang siaran bahasa daerah lainnya, seperti Pojok Madura yang berbahasa Madura dan Pojok Kulonan yang berbahasa Kulonan atau bahasa Jawa Baku (dengan cengkok Jawa Timur tentunya, tidak seperti aslinya di Jawa Tengah), dan siaran-siaran berdialek Surabaya seperti Kuis RT/RW, Cangkrukan, Mak Bongky Jemunuk Jaya, Pojok Perkoro, Omah Doyong dan seterusnya terus bermunculan dan lambat laun bahasa khas Surabaya ini (yang tentunya lebih diperhalus) makin dikenal hingga luar kawasan tutur dialek itu sendiri.

Para petinggi, pejabat yang diwawancarai dalam acara ini masih kagok alias kaku dalam menuturkan bahasa daerahnya sendiri, karena mereka lebih terbiasa berbahasa Indonesia dalam kesempatan resmi, dan hanya berbahasa Jawa lokal bila dalam situasi tidak resmi. Dan akibatnya bercampurlah bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia.

Kemanakah Melangkah?

Maraknya siaran berbahasa daerah yang dipicu Jawa Timur ini dianggap sebagai pemertahanan bahasa yang dilakukan oleh insan media, ditengah makin terkikisnya bahasa daerah oleh bahasa Indonesia maupun yang makin kencang saat ini, bahasa Inggris, yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Sebagaimana yang diketahui, media cetak berbahasa Jawa makin hari makin merosot dan hanya dijual secara berlangganan, karena makin menurunnya minat anak muda untuk mendalami bahasa daerahnya, khususnya bahasa Jawa. Panjebar Semangat dan Jaya Baya adalah dua dari beberapa media berbahasa Jawa yang masih bertahan hingga kini meski dalam situasi senen-kamis. Sebenarnya masih banyak anak muda yang ingin menjaga kelestarian bahasa ibunya sendiri melalui tulisan dan media lainnya, namun kekurangan media untuk menyalurkannya.

Media radio sendiri juga tidak banyak yang menggunakan bahasa daerah setempat meski ada beberapa stasiun radio yang khusus kearah budaya, kebanyakan sekarang ini radio sangatlah ‘internasional’ dengan acara-acara yang lebih digemari anak muda sekarang sebagai dampak globalisasi yang merambah dalam bangsa kita sekarang ini (hanya diambil kulit dan yang buruk2 saja) plus bahasa ala anak muda Jakarta yang sudah dikenal diseluruh penjuru tanah air.

Bagaimana dengan Pojok Kampung dan acara-acara berbahasa daerah lainnya? Mungkin ini merupakan angin segar bagi media berbahasa daerah untuk bangkit kembali ditengah arus ‘pengindonesiaan’ dan ‘penginggrisan’ yang makin merajalela. Hanya saja, akan kemanakah program-program ini melangkah? Itu masih perlu kita tunggu. Animo masyarakat nampaknya cukup baik dalam menyambut keberadaan acara-acara berdialek Surabaya yang lalu mungkin diujicobakan di daerah-daerah Indonesia lainnya.

Pastinya ada kebanggaan tersendiri bagi sebagian pemirsa televisi dengan keberadaan siaran atau program berbahasa daerah yang masih dianggap kampungan oleh kaum-kaum borju, apakah dengan menambah kosakatanya atau mendapat pengetahuan baru? Mempertahankan semangat kedaerahan melalui media.

Nah, sekarang dengan adanya media televisi ini, apakah dialek daerah seperti Suroboyoan ini akan bertahan? Tergantung pada media dan masyarakat itu sendiri bagaimana menyikapinya.

Bambang Priantono

Medio Januari 2007

No comments: